Opini Redaksi
Nepotisme merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan golongan tertentu dan biasanya di motivasi oleh keserakahan pribadi sang pemilik kekuasaan itu sendiri tak terbatas oleh latar belakang dari punguasa, baik itu politikus, cendikiawan, birokrat, hingga ulama sekalipun selama memakzulkan pemahaman mengutamakan sanak saudara, teman dekat, kerabat, sahabat, hingga melunturkan kompetensi prestasi.
Terlebih sebagian mereka menganggap bahwa nepotisme merupakan hal yang lumrah dengan alasan bahwa sudah kodratnya manusia akan memilih keluarga, teman, atau orang terdekatnya, karena faktor lebih kenal mereka secara personal. Selain itu, mereka juga tidak perlu khawatir suatu saat anggota keluarga, teman, atau orang terdekat, akan mengkhianati mereka.
Praktik nepotisme berlangsung di berbagai element baik itu diperusahaan bahkan pada pemerintahan daerah. misalnya disuatu tempat Pemimpin daerah menjalankan kekuasaannya dengan mengistimewakan keluarga dekatnya dalam pemerintahan, mengedepankan keluarga, teman dekat, dan sanak saudara tanpa menjadikan prestasi sebagai tolak ukur dalam menjalankan suatu sistem pemerintahan.
Hal ini tentu memadamkan semangat kompetensi meraih sebuah prestasi dalam mengukur kinerja para staf, sebab dalam sebuah sistem yang berlangsung prestasi sudah terabaikan oleh kepentingan suatu golongan tertentu yang berpotensi memperkaya diri sendiri dan golongan tertentu.
Semua mungkin sependapat bahwa korupsi adalah tindakan yang buruk. Suap, penggelapan uang, penyalahgunaan kewenangan dan pencucian uang sebagai tindakan yang paling buruk di antara praktik lain seperti dinasti politik, kolusi, politik kroni dan nepotisme.
Tindakan penguasa yang memberikan jabatan dan kesempatan pada keluarganya sendiri atau sering disebut NEPOTISME adalah sebuah tindakan awal, cikal bakal terjadinya suatu kompetensi yang tidak sehat hingga bermuara pada tindakan KORUPSI.
Prinsip yang beranggapan bahwa sudah menjadi tugas mereka untuk memastikan bahwa keluarga mereka mendapatkan pekerjaan yang stabil dengan gaji yang layak meskipun orang tersebut tidak memiliki keterampilan yang cukup akan tetapi mereka percaya bisa membimbing mereka dengan tujuan “sefety” untuk diri sendiri tentu memungkinkan terjadinya suatu tindakan “lost control” karena beranggapan keluarga mampu menyimpan segala bentuk kesepakatan privasi.
Ilmuwan Neo-Darwinian sepakat bahwa nepotisme mempengaruhi perilaku binatang sosial secara nyata. Contohnya dapat ditemukan pada ratu lebah yang memilih lebah pekerja yang bisa tinggal di dalam istananya berdasarkan pada kecenderungan pilihan jenis gen sang ratu lebah.
Sementara untuk manusia, nepotisme beroperasi di hampir semua lapisan sosial. Nepotisme mempengaruhi bagaimana seseorang menentukan kelas-kelas sosial ekonomi berdasarkan pada preferensi warna kulit, tampang dan penampilan.
Hal yang sama juga bisa saja terjadi di birokrasi pemerintahan sekalipun dipimpin oleh politikus, cendikiawan, birokrat, bahkan ulama sekalipun bila menganut pemahaman pada penilaian subjektif pribadi ketimbang pada kualitas dan kualifikasi dengan anggapan sepanjang orang yang terpilih cukup memenuhi kualifikasi maka praktik nepotisme akan selalu ada. (**)
penulis : SATRIA ,Pemred Jurnal Bidas