Bupati Nonjobkan Arif Sambudi, Hilman Gantikan Polres Tanjabbar Gelar Vaksinasi Massal Di Jajaran Polsek Muklis : Saya Sudah Rasakan Posisi Paling Bawah dan Buat Kopi Untuk Atasan Cabup Muklis Konsolidasi di Sejumlah Posko Relawan Masalah Sosial Dan Ekonomi Jadi Sasaran Utama Diselesaikan

Home / Opini

Minggu, 12 Juli 2020 - 11:14 WIB

Bahaya Politik Identitas

Oleh : Dr Dedek Kusnadi

Darah anda mungkin menggelegak-legak ketika menengok bagaimana tragedi kemanusiaan telah melenyapkan banyak etnis muslim Uighur di China. Emosi anda boleh jadi langsung membumbung ketika menyaksikan dengan mata telanjang, betapa pembantaian etnis muslim Rohingnya berlangsung amat keji di Myanmar.

Sadarkah anda, sikap perlawanan… atau boleh jadi rasa kebencian terhadap si para penindas itu, tiba-tiba saja membuhul. Geram.

Anda mungkin saja akan tersulut amarah. Dalam kadar tertentu, boleh jadi amarah itu terejawantah dalam bentuk sikap dendam.

Tahukah anda, bahwa dua contoh tragedi itu, meletus karena dipicu oleh politik kebencian. Dalam beberapa kasus genosida di dunia, pembasmian etnis tertentu dalam skala besar itu terjadi, karena keberadaan mereka dianggap berbahaya. Mereka dianggap menganggu kelompok penguasa atau etnis superior.

Seperti Buya Hamka, yang harus meringkuk di penjara. Karakternya dibunuh. Namanya dicemarkan. Karirnya dihancurkan. Ekonominya dimiskinkan. Semuanya terjadi karena ekses buruk dari politik kebencian.

Hamka dan Masyumi yang tegak di belakangnya, dianggap mengancam kekuasaan Soekarno, kala itu. Di mana rezim Soekarno, menjelang akhir masa jabatannya yang mulai doyong ke kiri. Kelompok muslim dianggap menganggu dan mengancam eksistensi kekuasaan Soekarno.

Sehingga, terjadilah politik kebencian yang hampir melenyapkan Hamka, tokoh muslim termashur itu.

Nah,

Tulisan kali ini, saya hendak mencoba mengurai secara singkat, bagaimana hubungan politik identitas dan politik kebencian. Betapa bahayanya politik identitas, karena dalam kadar tertentu dia akan menjelma menjadi politik kebencian, yang berimplikasi sangat negatif, merusak dan bahkan akan menghilangkan nyawa umat manusia dalam skala besar itu.

Agar memahami lebih detail mengenai politik kebencian itu, saya sarankan untuk menonton penjelasan Dr Jafar Ahmad di chanel youtube ini.

Beberapa analisis saya berikut, sebetulnya juga mengutip analisis Dr Jafar Ahmad, doktor ilmu politik jebolan Universitas Indonesia itu. Dia adalah mentor politik saya. Darinya, saya banyak belajar, utamanya tentang bagaimana politik itu bekerja.

Baiklah.

Pilkada serentak 2020 sudah di ambang pintu. Para kandidat yang bertarung mulai menancapkan kuda-kuda. Upaya memenangi kontestasi dilakukan dengan berbagai cara. Semua jalan ditempuh. Targetnya tentu saja kemenangan.

Dalam konteks demokrasi elektoral seperti sekarang, pemenang adalah mereka yang sukses memeroleh suara mayoritas. Untuk mengantongi banyak suara pemilih, tentu bukan pekerjaan ringan. Tak mudah seperti membalik telapak tangan. Para kandidat mesti menyiapkan strategi jitu, tim yang solid dan tentu saja logistik yang sangat besar.

BACA JUGA  Masih Adakah Nepotisme Disekitar Anda ?

Nah…persoalan utama dalam politik elektoral itu tentu saja bagaimana cara memperbesar dukungan. Politik identitas, misalnya dengan memainkan sentimen etnis atau sentimen agama, kerap dipakai untuk memobilisasi dan menarik dukungan dari kelompok primordial.

Ampuhkah?

Dalam kadar tertentu sangat ampuh. Kekalahan Ahok di DKI Jakarta adalah implikasi dari bekerjanya politik identitas. Ahok tumbang oleh membesarnya sentimen agama. Pemilih tak lagi melihat Ahok sebagai figur yang berhasil memimpin, sukses atau bersih, misalnya. Tapi, mereka terlanjur hanyut ke dalam sentimen agama. Memilih Ahok, seorang muslim akan dicap menyetujui penista agama menjadi pemimpin. Mendukung Ahok, dianggap sama saja mencoreng agama sendiri.
Lewat sentimen agama, Ahok diwacanakan sebagai figur yang mengancam muslim.

Ekses buruknya bisa anda rasakan sampai sekarang. Kelompok pro Ahok dan anti Ahok terbelah secara solid.

Bagi kandidat yang ingin menang, politik identitas memang kerap dipakai untuk memperbesar dukungan. Untuk menarik simpati masyarakat. Untuk memobilisasi relasi primordial.

Di Provinsi Jambi misalnya, ada satu kandidat Gubernur yang menggandeng figur etnis Jawa, dengan harapan bisa memeroleh dukungan dari etnis terbesar kedua di Jambi itu.

Di sisi lain, ada pihak-pihak tertentu yang mulai memainkan wacana pribumi dan non pribumi, untuk membangkitkan sentimen etnis Melayu. Etnis terbesar di Provinsi Jambi.

Kajian tentang pembelahan politik seperti Pendatang vs Pribumi. Penduduk asli vs keturunan Tionghoa. Priayi dan bangsawan vs orang biasa, sudah banyak yang menyinggungnya.

Maswadi Rauf, dalam bukunya “Konsensus Politik” misalnya, menjelaskan ikatan primordial bisa membentuk sentimen dan loyalitas primordial. Yang akan menghasilkan solidaritas sangat kuat antara sesama anggota kelompok.

Solidaritas dalam kelompok primordial atas dasar ras/suku atau agama bisa timbul oleh adanya persamaan nilai-nilai budaya tadi. Yang membuat mereka memiliki cara hidup, pola pikir dan kepentingan yang sama.

Semua persamaan itu membuat mereka bersedia membela kelompok mereka. Dengan pengorbanan apapun. Bahkan sampai bersedia mengorbankan nyawa.

Dr Jafar Ahmad, mentor politik saya tadi berkesimpulan, politik identitas yang terus dimainkan, lambat laun akan berubah menjadi politik kebencian. Yang tak hanya memburuk-burukkan orang atau satu kelompok. Tapi, politik kebencian bahkan dalam kadar tertentu bisa menjadi mesin pembunuh. Sebagian civil war atau perang saudara meletus karena politik kebencian itu.

BACA JUGA  OPINI REDAKSI - Sejauh Mana Capaian Visi Misi Safrial-Amir Jelang 3 Tahun Menjabat ?

Politik identitas yang terus-menerus direproduksi, tentu saja akan menimbulkan semacam ancaman di antara kelompok. Yang pada akhirnya akan menumbuhkan sikap permusuhan. Mereka yang menggunakan politik identitas untuk meraih kemenangan, maka, sejak saat itu ia telah membuka lebar-lebar pintu pertikaian, yang boleh jadi akan berujung pada pembunuhan massal.

Lahirnya satu kelompok tertentu yang membenci kelompok lain, semisal pribumi dan non pribumi tadi, tentu anda sudah sadar seperti apa akibat buruknya. Apalagi, bila satu kelompok yang bertikai itu tengah berkuasa, atau superior, seperti Soekarno versus Hamka. Anda dapat membayangkan bagaimana dampak buruk yang menyergap kelompok tertindas itu.

Politik identitas akan memunculkan sifat superior bagi satu kelompok. Dimana kelompok superior itu akan cenderung sekuat tenaga melenyapkan kelompok inferior di bawahnya.

Kasus genosida yang sudah saya singgung di atas, adalah implikasi buruk dari politik kebencian. Keberadaan kelompok etnis muslim Uighur maupun Rohingnya, dianggap mengancam dan membahayakan kelompok mayoritas di sana. Sehingga pembantain manusia dalam jumlah besar pun tak terelakkan.

Betapa bahayanya politik identitas dan politik kebencian itu.

Lalu…bagaimana solusinya?

Ketika anda mahfum betapa dahsyatnya bahaya politik identitas, yang akan berujung pada politik kebencian, maka, jangan coba-coba main api. Sadarilah betapa besar dampak buruknya. Janganlah anda mau diseret-seret dalam wacana identitas itu. Sudah saatnya anda tidak menganggap kelompok lain yang nantinya berkuasa, akan membahayakan kelompok anda.

Sampai anda sudah bisa memaklumi, bahwa orang lain tak lagi berbahaya bagi anda, maka dengan sendirinya politik kebencian itu akan enyah. Tapi, sebaliknya, selagi anda merasa bahwa orang lain itu berbahaya. Maka…percayalah..anda akan selalu dimanfaatkan oleh politik kebencian itu.

Semakin besar kadar kebencian, semakin buruk pula resiko yang datang. Entah itu bagi kita sendiri, lebih luas tentu bagi bangsa dan negara. Kalaulah tak bisa dihilangkan, setidaknya, marilah kita berikhtiar untuk mengurangi pengaruh buruknya. Tabik!

***

Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan UIN STS Jambi, peneliti Pusat Kajian Sosial Politik (Puskaspol) Jambi

Share :

Baca Juga

Opini

Masih Adakah Nepotisme Disekitar Anda ?

Opini

Defisit Atau Akal-Akalan Menghindari Penarikan Deposito APBD ??

Opini

Kegaduhan Politik Balas Jasa Dan Balas Dendam

Opini

Opini Redaksi : Sungguh Mahal Harga Mu Jalan Lingkar Roro !!

Opini

OPINI REDAKSI – Sejauh Mana Capaian Visi Misi Safrial-Amir Jelang 3 Tahun Menjabat ?

Opini

Hilirisasi Berbasis SDA Di Provinsi Jambi

Opini

Program Insfrastruktur Sangat Penting, Tapi Jangan Kesampingkan Program Peningkatan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat

Opini

Pengangkatan Pejabat Berdasarkan Kekerabatan Penyakit Birokrasi !